Minggu, 29 November 2009

Liburan ke Selatan Tanah Pasundan

Minggu subuh, Lebaran hari kedua, tepatnya jam lima pagi mobil Jeep Landrover tua bergerak menuju Bayah, kota kecamatan didaerah paling selatan Tanah Pasundan. Arah jalan yang saya tempuh kali ini melalui jalur tol Ciawi dan Pelabuhan Ratu. Kami berangkat pagi hari, agar terhindar dari kemacetan yang sering terjadi di daerah pasar Cicurug.

Sesuai dengan perhitungan, kendaraan tua terus melaju dengan lancar saat melewati pasar Cicurug hingga Cibadak. Medekati jam sembilan, setelah melewati jalan yang berbelok-belok, naik dan turun, dengan jurang dan pepohonan dipinggir jalan, mobil akhirnya memasuki daerah Pelabuhan Ratu. Kami berhenti sejenak untuk mengisi bahan bakar, mengambil uang di ATM BCA dan belanja makanan ringan di Indomaret.

Hanya dibutuhkan waktu beberapa menit, kendaraan sudah melaju melewati pantai Pelabuhan Ratu. Tidak seperti biasanya, jalanan yang kami lalui masih sepi. Setelah melewati pantai-pantai dan pesawahan di Pelabuhan Ratu akhirnya kami pun beristirahat sejenak untuk menikmati pemandangan yang cukup memukau. Hamparan teluk Pelabuhan Ratu dengan ombak dan laut yang membiru dapat terlihat jelas dari jalanan diatas bukit yang kami lalui.

Perjalanan dilanjutkan menuju Bayah, kota kecamatan yang terletak dibagian paling selatan tanah Pasundan ini. Sungguh mengejutkan, ternyata jalanan menuju Bayah sudah diaspal mulus dan dapat dilalui oleh segala jenis kendaraan roda empat. Kondisi jalan yang mulus ini sangat berbeda dengan kondisi jalan dua tahun lalu yang rusak parah dan banyak lubang-lubangnya.

Tidak banyak pemandangan yang bisa dilihat sepanjang perjalanan menuju Bayah. Pantai sudah tidak terlihat karena jalan raya berada jauh dari garis pantai. Namun demikian, udara yang segar dan hijaunya pepohonan di sepanjang jalan membuat perjalanan ini terasa menyenangkan.

Mendekati Bayah ada jalan potong melalui desa Pantai Sawarna menuju Bayah. Dimana saya pernah mengajak teman-teman dari kantor BP untuk berjalan menelusuri hutan dan pantainya yang indah. Mobil tua saya belokan ke jalan ini menuju desa Pantai Sawarna. Jalan yang semula bagus makin kedalam semakin hancur. Memang saya sudah tahu akan hal ini, bahkan ditahun sebelumnya jalan ini hanya dilapisi batu saja dan belum pernah diaspal.

Kondisi jalan semakin buruk saat melalui jalan turunan dan tanjakan. Kami harus menggunakan penggerak empat roda agar kendaraan bisa kuat melewati jalan yang mendaki. Tidak lebih dari tiga puluh menit, jalanan semakin membaik. Kampung Sawarna dan pantai-pantai yang indah mulai terlihat dari atas bukit.

Dijalan yang datar mobil saya belokan memasuki kebun kelapa. Dari sini keindahan salah satu pantai yang terdapat di Desa Sawarna dapat dinikmati. Pantai Ciantir namanya, diberi nama demikian karena berada persis dimuara sungai Ciantir.

Saat mobil mendekati pantai, keponakan semuanya berdecak, terpukau melihat keunikan dari pantai yang indah ini. Pasir putih membentang luas, memisahkan sungai yang tenang dari samudra Indonesia yang menderu-deru. Sungguh suatu pemandangan yang belum pernah disaksikan dalam kehidupan mereka sebelumnya. ”Gile...!! Kalah nih pantai Pelabuhan Ratu dan Carita” : begitu ungkap mereka.

”Hati-hati main di muaranya”, saya bilang kepada ponakan, karena saya tahu masih ada hidup beberapa ekor buaya di muara sungai ini. Buaya di sungai Ciantir berukuran kecil, panjang sekitar satu meter dan biasanya takut pada manusia. Namun tetap kita harus berhati-hati, apalagi jika sampai bermain didekat sarang dimana buaya menyimpan telurnya sangat berbahaya. Buaya yang kecil ini bisa menjadi agresip menyerang jika merasa terganggu.

Setelah berjalan-jalan disekitar muara sungai Ciantir, kami segera lanjutkan perjalanan. Dari desa Sawarna menuju Bayah, kami melewati jalan menanjak yang cukup parah kondisinya. Sehingga kami harus menggunakan tuas penggerak empat roda. Tepat di dataran jalanan yang lebih tinggi, kami bisa melihat lautan yang membiru dan pantai-pantai dengan pasir yang putih.

Mobil kemudian meliwati hutan industri milik perhutani, dan tidak beberapa lama kami memasuki kawasan taman wisata Pulau Manuk. Banyak sekali mobil yang parkir disepanjang jalan, karena hari itu masih hari lebaran kedua. Biasanya pada hari lebaran kedua, penduduk disekitar Bayah dan Cikotok suka berwisata bersama keluarga, mebawa makanan dan bermain dipantai-pantai sekitar Bayah dan Malimping.

Karena ramainya pengunjung, terpaksa perjalanan kami lanjutkan langsung menuju Bayah dan Malimping sambil mencari makan siang. Sepanjang perjalanan dari Pulau Manuk menuju Bayah, kami disuguhi pemandangan pantai pasir dan pantai karang yang indah. Kendaraan kami melewati daerahh wisata pantai Karang Taraje, dimana pantai karang tersebut menyerupai susunan anak tangga. Unik sekali demikian komentar para ponakan. Ada banyak nama pantai disana, kami lupa mencatat nama-namanya.

Setelah makan siang di Bayah, kendaraan berlari kencang menuju barat ke arah Malimping. Disekitar Malimping juga banyak terdapat pantai-pantai yang cantik. Sayangnya beberapa pantai yang dulunya indah kini dijadikan tempat penampungan batubara yang sekarang menjadi primadona kota Bayah. Semua pantai itu hanya kami lalui saja, karena tujuan kami adalah menuju Pantai Bagedur, pantai yang sangat panjang sekali, dimana segala jenis kendaraan bisa berjalan dengan aman diatas pantai pasir. Kadang tempat ini suka dijadikan arena motor cross oleh anak muda setempat.

Seperti biasa, saya masukan lagi kendaraan melalui jalanan kampung, memasuki perkebunan kelapa. Beberapa penduduk memberi tahu kalau mobil tidak bisa melewati jalan pasir untuk menuju pantai. Tapi mobil tetap maju karena saya mengetahui akan kemampuan si Landrover mobil tua ku ini, dan saya sendiri sudah mengetahui kondisi pasir disana yang memang cukup parah bagi mobil biasa.


Benar saja, mendekati pantai, kontur tanah pasirnya sudah tidak rata lagi. Garis pantai tidak terlihat karena terhalang gundukan pasir yang sudah dipenuhi tanamanan yang membentuk bukit-bukit kecil. Tampak sekumpulan kerbau sedang memakan rerumputan yang tumbuh subur diatas pasir. Yang lebih menarik, ternyata ada beberapa kerbau berwarna albino. Jarang sekali ada kerbau albino.

Ke empat roda landrover tua terus berputar dengan pasti diantara gundukan pasir. Semua keponakan merasa khawatir kalau mobil ini tidak bisa melewati gundukan-gundukan pasir. Ketegangan makin menjadi, saat mobil tidak dapat berjalan meskipun roda sudah berputar-putar. ”Wah, bakalan dorong mobil nih. Berat banget, apalagi diatas pasir”, guman mereka dalam hati. Kerisauan merak akhrinya sirna setelah landrover, yang dirancang untuk kendaraan segala medan, dapat melalui semua gundukan pasir yang ada.

Melewati gundukan terakhir, mereka terpukau saat melihat pantai yang membentang panjang dengan ombak yang berderu silih berganti. Inilah pantai Bagedur, ombak yang menderu-deru artinya dalam bahasa setempat. Pantai Bagedur mungkin termasuk pantai pasir yang terpanjang di Indonesia. Saya sendiri belum pernah mengukurnya. Diperkirakan butuh waktu berjam-jam untuk berjalan dari ujung ke ujung pantai ini.

Dikejauhan tampak terlihat ramainya pengunjung yang mandi dan bermain dipantai. Selain pengunjung banyak juga pedagang makanan disekitar situ. Motor-motor dikendarai anak-anak muda berlalu lalang disekitar pantai.

Mobil terus bergerak diatas pasir menuju tempat yang paling sepi, dan kami menghabiskan waktu hingga sore hari. Mandi di laut sambil bermain ombak, hingga perut terasa lapar kembali. Untung ada yang jual mie rebus, jadi perut lapar bisa segera terobati.

Tidak terasa langit semakin gelap. Keindahan matahari terbenam yang kami nantikan tidak kujung tiba, karena cuaca yang terus mendung. Akhirnya kami putuskan untuk berangkat menuju rumah saudara di Cikotok dimana kami akan menginap.

Masih banyak lagi cerita yang belum kami tuturkan disini. Masih banyak lagi pantai disana yang belum kami kunjungi, semuanya indah dan masih asri. Semoga keindahan dan keasrian pantai yang ada saat ini dapat selalu terjaga selamanya.



"kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan"
~ ws rendra

Sand-dune Cibagedur

Tidak ada komentar: