Semakin tumbuh dewasa semakin aku mengerti makna dari Azan itu, tetapi tetap saja suara itu semakin mengganggu telingaku, saat berkumandang subuh dan sore hari. Terlalu banyak suara yang berkumandang melalui pengeras suara yang dipasang disetiap rumah ibadah didekat rumah ku. Cukup hirup pikuk suaranya, bak dengung gerombolan tawon yang saling sahut bersahutan. Tidak ada keharmonisan dari karya symphony yang maha agung itu.
Begitulah perasaan yang aku rasakan saat mendengarkan azan subuh di kota Jakarta ini. (Coba deh di test, jam 4 pagi nongkrong depan rumah).
Berbeda sekali dikala aku kecil. Alat pengeras suara masih merupakan barang yang mewah di saat itu. Pada masa itu, panggilan sembahyang tedengar melalui suara bedug yang dipukul bertalu-talu. Walau tampa pengeras suara Azan subuh masih tetap terdengar sayup-sayup dengan irama yang pasti. Namun tetap suara yang sayup itu dapat membangunkan seorang bocah kecil yang terlelap dalam tidurnya.
Hingga kini, aku selalu ingat akan kata dan irama nya, walau aku tidak pernah mencatat dan menghapalkannya.
Namun demikian, hingga saat ini, saat aku merenung di taman di depan rumahku, tetap bagiku suara Azan masih merupakan suara yang tidak enak kudengar. Di pagi hari maupun di sore hari. Seperti apa yang aku alami sore tadi, mendengarkan seruan Azan magrib hari ini. Terlalu banyak suara yang berkumandang.
Tetapi ada lagi cerita yang lain.

Cukup lama kami terjebak dan tertidur dalam mobil, tidak terasa sore hari mendekati gelap.
Dalam tidur ayam, dan hirup pikuk suara kendaraan bermotor. Sayup aku mendengar suara Azan berkumandang. Tetapi aku tidak yakin akan suara itu, karena jarang sekali ada mes jid di daerah Saigon. Namun karena suara itu semakin jelas terdengar di telinga. Aku bukakan mata dan melihat teman-teman yang masih tertidur pulas.
Langsung aku bangunkan mereka, dan memberitahukan ada suara Azan terdengar dijalan ini. Mereka terbangun, tapi herannya mereka masih tidak bisa mendengar akan suara Azan itu.
Walau aku tidak turut sembahyang. Aku duduk menunggu sambil mendengarkan keharmonisan tunggal dari dengung Azan yang aku dengarkan sore itu. Lembut dan merdu, diantara bisingnya bunyi motor.
Kumandang panjatan doa yang lembut itu, turut mengajak aku untuk berdoa dengan cara ku sendiri, agar aku dapat diberikan keselamatan di dunia dan di akhirat. Tidak lupa kudoakan juga kerabat dan orang-orang yang kukasihi. Ternyata Azan bisa mengajak ku untuk berdoa.
Entah kenapa hingga saat ini, dalam lubuk hati ku yang dalam, masih kurindukan suara Azan tunggal yang sayup dan merdu itu. Mungkin ada kenangan masa kecil yang terus terekam dalam otak kanan ku. Yang bisa membangkitkan ingatkanku, akan teman-teman kecil dan alam dimana aku dilahirkan. Mengingatkan perjalanan seharian, bermain di pematang sawah dan sungai-sungai bersama teman kecil saat bulan puasa, saat menunggu waktu buka tiba. Juga mengingatkan akan suara Azan dan bedug yang dinanti, di hadapan hidangan buka puasa yang siap menantang di muka meja. (Waktu kecil aku juga suka ikutan puasa, dan ibu teman sangat senang dan selalu mengajak berbuka dirumahnya).

Hingga saat ini pertanyaan itu tidak terjawab oleh ku. Namun tetap aku rindu pada Azan tunggal yang menyentuh kalbu ku itu. Kapan yah aku bisa mendengar kembali kumandang Azan yang merdu di negri ku tercinta ini. Aku rindu akan Azan yang mengajak ku untuk berdoa.
Notes:
- Guci Tunnel : Terowongan dalam tanah tempat perang orang Vietnam melawan Amerika dengan teknik lubang tikusnya
- Ha Bai Trung : nama jalannya kayanya bukan ini, tapi biar terkesan di Saigon pake nama ini saja
- Emey : Sebutan untuk gadis/putri Vietnan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar